Makalah
Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan
(Nilai Estetis dan Dorongan Berkarya Seni & Periode
Seni)
Dosen
Pengampu : M. Reyhan F M.Pd
Kelas/Prodi : 3F/PGSD
Anggota
Kelompok 2:
1)
Hening Tri K
2)
Arum Dwi Lestari
3)
Yunis Faizatun N
4)
Irma Yulianti
5)
Putri Yuniasari
STKIP
PGRI TULUNGAGUNG
Jalan
Mayor Sujadi No.7 Tulungagung Telp./ Fax 0355-321426
Email:stkippgritulungagung@gmail.com/website: stkippgritulungagung.ac.id/Kode
Pos 66221
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT. bahwa saya telah menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah seni rupa SD
dengan membahas tentang nilai estetis seni dan periode seni.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi – materi yang ada.
Materi – materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang nilai
estetis seni dan juga periode seni.Sehingga mahasiswa dapat memahami tetang nilai pada seni dan
juga mampu memahami perkembangan seni yang terangkum pada materi periode seni.
Seperti kata orang bijak, tidak ada yang sempurna dalam hidup. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca, khususnya dosen pembimbing sangat
perlu bagi kami untuk kesempurnaan makalah kami
di kemudian hari.
Semoga
materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya kami dan para pembaca pada umumnya sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Amiin.
Tulungagung, 27 September 2015
Tim Penyusun
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seni budaya dan keterampilan
merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diberikan bagi murid SD
guna menumbuhkan kepekaan rasa keinndahan/estetika, keunikan, sehingga
bermanfaat bagi peserta didik. Diantaranya membentuk sikap kreatif, apresiatif,
dan kritis. Disamping itu juga menumbuh kembangkan sikap hidup yang toleran
karena kemajemukan seni yang ada di Nusantara.
Pendidikan Seni Rupa yang berfungsi sebagai dasar keilmuan
akan memberikan landasan konseptual bagi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan
Kesenian. Dalam ilmu pendidikan seni rupa, terdapat kerangka teoretik yang
sangat berharga bagi penerapan dan pengayaan materi Kerajinan Tangan dan
Kesenian di Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Oleh karena itu, pada buku
ini tidak sepenuhnya mengacu pada kurikulum Kertakes SD, tetapi lebih luas dan
mendasar. Pada bahasan praktika diberikan beberapa pilihan tugas berkarya bagi
Guru (calon guru) yang dapat diterapkan dalam mata pelajaran Kertakes. Kerajinan Tangan dan Kesenian
(Kertakes) diberikan bagi murid SD guna menumbuhkan kepekaan rasa keindahan
(estetika) sehingga membentuk sikap kreatif, apresiatif dan kritis. Kertakes
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman berapresiasi dan
berkreasi yang dapat menghasilkan suatu benda yang bermanfaat.
Pembelajaran Kertakes memiliki
fungsi dan tujuan untuk menumbuhkembangkan berbagai potensi, sikap dan
keterampilan (baca Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kertakes,
Depdiknas, 2003, halaman 6-8). Fungsi dan tujuan Kertakes adalah:
1. Mengembangkan
kemampuan dan keterampilan siswa melalui penelaahan jenis, bentuk, sifat,
fungsi, alat, bahan, proses, dan teknik dalam membuat berbagai produk teknologi
dan seni yangberguna bagi kehidupan manusia, termasuk pengetahuan seni dan
keterampilan dalam konteks budaya yang multikultural.
2. Mengembangkan
kemampuan intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan rasa, kepekaan kreatif,
keterampilan, dan mengapresiasi/menghargai hasil karya seni dan kerajinan dari
berbagai wilayah Nusantara dan mancanegara.
3. Menumbuhkembangkan
sikap profesional, kooperatif, toleransi,
kepemimpinan (leadership), kekaryaan (employmentship), dan
kewirausahaan (enterpreneurship).
B.
RUMUSAN
MASALAH
a. Apakah yang dimaksud dengan nilai
estetika seni?
b. Bagaimanakah Dorongan
berkarya seni dan periode seni?
C.
TUJUAN
a. Mahasiswa
mampu memahami apa yang dimaksud dengan nilai estetika seni.
b. Mahasiswa
mampu memahami mengenai dorongan berkarya seni dan juga periode seni.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. NILAI ESTETIS
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat
yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut
berbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga
subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan
menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni
sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang
juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup,
sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah
perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk
menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih
menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang
dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880 1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti
misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang
berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan
disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti
dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan
itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau
sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang
bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk
masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau
karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud
dengan nilai? Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai
sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Dalam Dictionary od Sociology
and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang
lebih terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object
to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of
interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada
sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda
yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).
Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu
realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena
terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh
orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam
bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu
cabangnya yang disebutaxiology atau kini lebih sering disebut theory
of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai
sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types
of value)dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of
value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang
membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya
ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan
yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan
nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu
benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering
disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat
alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau
bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri
dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory
value,yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki.
Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan
dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk
sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.
Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut
hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman
orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan
ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan
pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah
sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai
nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai
merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita
metafisis.
Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George
Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan
dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan
batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan (yakni
dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak
hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga
dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena
sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang
keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu
pembagianyang lebih terperinci seperti
misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming
(jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah
gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan
biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka
ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada
sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam
lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari
keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai
yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang
menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan
tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda
disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan
sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini,
keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian
seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan
orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat
terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini
keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif
menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada
umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan
suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang
filsafat yang berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of
beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka
teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri
yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada
benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.
Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah
yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk
mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus
manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai
estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu
tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda
(khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa
yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa
ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada.
Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati
sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si
pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis,
hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman
estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang
berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali
hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam
bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan
mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika
membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat.
Dikatakan oleh Hegel, bahwa: "Filsafat seni membentuk bagian yang
terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam
memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni
ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan
"keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita
selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu
bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya
kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of
Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada
umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual
batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu
mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara
keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni
bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya
ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman
dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan,
hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis
aktivitas artistik (estetik elementer).
Ada tingkatan basis aktivitas estetik/artistika:
1.
Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material,
warna, suara,gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi
fisik yang lain.
2.
Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil
pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan konfigurasi dari struktur
bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni,
kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang
utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat
lagi.
3.
Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan
juga dihubungkan
dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi
memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat
kepekaan penghayat.
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung
relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar
belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov,
ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari
proses hibitution(ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman
tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan
keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang
pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni?
Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari
benda estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga
menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha
untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala
psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang
Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni,
maka penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan
estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya.
Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung
dalam usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni;
yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam kondisi tersebut, apresiasi bukanlah proses pasif, tetapi merupakan
proses aktif dan kreatif, yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang
dihasilkan dari proses hayatan (Feldman, 1981).
Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya
ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari
susunan dasar seni rupa, mengenal tentang garis,shape, warna, teksture,
volume, ruang dan waktu. Penghayat harus mengetahui secara pasti asas-asas
pengorganisasian; harmonis, kontras, gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangan, unity danvariaty. Seperti
yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The Liang Gie, bahwa untuk mengatasi
kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga aspek konfusi atau
kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk
menampilkan keanekaan (variaty) dan kesatuan (unity) yang
semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan (The Liang Gie, 1976: 54.)
B. DORONGAN BERKARYA SENI
DAN PERIODE SENI
Kapankah
seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan seperti itu, maka jawabannya
sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada di planet bumi ini.
Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan berbagai fakta
tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo
sapiens)pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya
yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk
membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah
dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada
pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya,
dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius.
Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi
kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda
peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan di antaranya:
1. Lukisan gua (cave
painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya
dan bentuk, dengan latar belakang magis.
2. Bejana keramik (gerabah) dengan
berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan praktis.
3. Genderang perunggu untuk kepentingan
upacara religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris
yang artistik.
4. Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik),
senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu
atau logam.
Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak
karya seni prasejarah yang lain, baik yang dihasilkan pada zaman paleolitikum,
messolitikum, megalitikum, neolitikum, maupun zaman logam. Perlu dicatat juga
bahwa karya yang memiliki nilai artistik yang tinggi, terutama pada benda-
benda yang tiga dimensional, dihasilkan sejak zaman neolitikum dan zaman logam.
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya
seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya
seni.
Berdasarkan
penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1. Dorongan magis dan religius
(keagamaan).
2. Dorongan untuk bermain.
3. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan
praktis (sehari-hari).
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah
menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam
penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya
seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.
Perkembangan
Seni rupa modern yang berkembang di
Eropa sejak awal abad ke-19 pengaruhnya masuk ke Indonesia pada awal abad
ke-20. Adalah Raden Saleh seorang anak bangsa yang telah belajar seni lukis dan
mengembara di Eropa selama kurang lebih 20 tahun pulang ke Indonesia dengan
membawa gaya dan teknik melukis yang diperoleh di Eropa.
Raden
Saleh Syarif Bustaman ( Terbaya, 1814 -1880 ), putra keluarga bangsawan pribumi
mampu melukis gaya/cara barat (alat, media dan teknik) yang natural dan
romantis. Mendapat bimbingan dari pelukis Belgia Antonio Payen, pelukis Belanda
A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag. Berkeliling dan pernah tinggal di
Negara-Negara Eropa.
Para
ahli menetapkan sejak kepulangan R. Saleh itulah dimulai perkembangan seni rupa
modern di Indonesia. Dalam perkembangannya seni rupa modern di Indonesia
mengalami periodisasi sebagai berikut.
1.
Periode Perintisan
Raden Saleh Syarif Bustaman ( Terbaya, 1814 -1880 ), putra
keluarga bangsawan pribumi mampu melukis gaya/cara barat(alat, media dan
teknik) yang natural dan romantis. Mendapat bimbingan dari pelukis Belgia
Antonio Payen, pelukis Belanda A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag.
Berkeliling dan pernah tinggal di Negara-Negara Eropa.
Ciri-ciri karya lukisan Raden Saleh :
Ciri-ciri karya lukisan Raden Saleh :
·
Bergaya natural dan romantisme
·
Kuat dalam melukis potret dan binatang
·
Pengaruh romantisme Eropa terutama dari Delacroix.
Pengamatan yang sangat baik pada alam maupun binatang.
Pengamatan yang sangat baik pada alam maupun binatang.
Karya Raden Saleh:
·
Hutan terbkar
·
Perkelahian antara hidup dan mati
·
Pangeran Diponegoro
·
Berburu Banteng di Jawa
·
Potret para Bangsawan
Karya
Raden Saleh Sjarief Bustaman, berjudul"DIE LOWENJAGD" tahun
1840.
Pada
tanggal 18 Nopember 2005 di Cologne (Jerman) lukisan tersebut laku terjual
805.000,- Euro (atau sekitar 11,77 milyar rupiah)
.
2. Periode Hindia Jelita/Indonesia
Molek (Mooi Indie)
Selanjutnya muncul pelukis-pelukis muda yang memiliki konsep
berbeda dengan masa perintisan, yaitu melukis keindahan dan keelokan alam
Indonesia. Keadaan ini ditandai pula dengan datangnya para pelukis luar/barat
dan sebagian ada yang menetap dan melukis keindahan alam Indonesia.
Pelukis Indonesia Molek :
Abdullah Suriosubroto (1878-1941)
Pelukis Indonesia Molek :
Abdullah Suriosubroto (1878-1941)
·
Mas Pirngadi (1875-1936)
·
Wakidi
·
Basuki Abdullah
·
Henk Ngantung, Lee Man Fong (dll)
·
Rudolf Bonnet (Bld), Walter Spies (Bel), Romuldo Locatelli
(Itali), Lee Mayeur (Jerman) dan W.G. Hofker (Bld), Strasser (Swiss) dll.
Ciri-ciri lukisan :
·
Pengambilan obyek alam yang indah
·
Tidak mencerminkan nilai-nilai jiwa merdeka
·
Kemahiran teknik melukis tidak dibarengi dengan penonjolan
nilai spiritual
·
Menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia.
3. Periode Cita Nasional/PERSAGI
Bangkitanya
kesadaran nasional yang dipelopori oleh Boedi Oetomo pada Th.1908. Seniman S.
Sudjojono, Surono, Abd. Salam, Agus Djajasumita medirikan PERSAGI (Persatuan
Ahli Gambar Indonesia). Perkumpulan seniman pertama di Jakarta ini, berupaya
mengimbangi lembaga kesenian asing Kunstring yang mampu menghimpun
lukisan-lukisan bercorak modern. PERSAGI berupaya mencari dan menggali
nilai-nilai yang mencerminkan kepribadian Indonesia yang sebenarnya.
Hasil karya mereka mencerminkan :
·
Mementingkan nilai-nilai psikologis;
·
Tema perjuangan rakyat ;
·
Tidak terikat kepada obyek alam yang nyata;
·
Memiliki kepribadian Indonesia ;
·
Didasari oleh semangat dan keberanian;
Karya-karya seni lukis masa PERSAGI
antara lain :
·
Agus Djajasumita : Barata Yudha, Arjuna Wiwaha, Nirwana,
Dalam Taman Nirwana
·
S. Sudjojono: Djongkatan, Didepan Kelambu Terbuka, Mainan,
Cap Go meh.
·
Otto Djaya: Penggodaan, Wanita Impian
4. Periode Pendudukan Jepang
Hal-hal yang mewarnai perkembangan seni rupa di Indonesia
pada masa pendudukan Jepang antara lain:
·
Cita PERSAGI masih melekat pada para pelukis, serta
menyadari pentingnya seni lukis untuk kepentingan revolusi.
·
Pemerintah Jepang mendirikan KEIMIN BUNKA SHIDOSO,Lembaga
Kesenian Indonesia –Jepang ini pada dasarnya lebih mengarah pada kegiatan
propaganda Jepang.
·
Tahun 1943 berdiri PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Bung
Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur. Tujuannya memperhatikan
dan memperkuat perkembangan seni dan budaya. Khusus dalam seni lukis dikelola
oleh S. Sudjojono dan Afandi, selanjutnya bergabung pelukis Hendara, Sudarso,
Barli, Wahdi dan sebagainya.
Pada masa pendudukan Jepang ini terkesan ada dua kubu
seniman, yakni seniman-seniman yang pro terhadap Jepang mereka bergabung dan
berkarya dalam wadah Keimin Bunka Shidhoso. Sedangkan yang kontra Jepang
memilih masuk ke dalam kelompok PUTERA.
Hasil
karya mereka mencerminkan :
·
Melanjutkan cerminan dari masa cita Nasional.
Tokoh
utama pada masa ini antara lain:
·
S. Sudjojono
·
Basuki Abdullah, Emiria Surnasa
·
Agus Djajasumita, Barli
·
Affandi, Hendra dan lain-lain
5. Periode Pasca Kemerdekaan
Setelah Jepang keluar dari bumi Indonesia, dunia seni lukis
mendapatkan angin segar. Masa kemerdekaan benar-benar mendapatkan kebebasan
yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai kelompok atau
perkumpulan seniman,yaitu antara lain :
a. Pada tahun 1946 berdiri SIM (Seniman
Indonesia Muda) yang sebelumnya bernama “Seniman masyarakat”. Dipimpin oleh S. Sudjojono,
anggotanya : Affandi, Sudarso, Gunawan, Abdus Salam, Trubus dan sebagainya.
b. Pada tahun 1947 berdiri perkumpulan
pelukis rakyatyang dipimpin oleh Affandi dan Hendra yang keluar dari
perkumpulan SIM. Anggota dari pelukis rakyat antara lain : Hendra, Sasongko,
Kusnadi dan sebagainya.
c. Pada tahun 1948 berdiri perkumpulan
yang memberikan kursus menggambar, yaitu Prabangkara. Selanjutnya para tokoh
SIM, Pelukis rakyat dkk. merumuskan pendirian lembaga pendidikan Akademi Seni
Rupa.Tokoh perintisan lembaga tersebut antara lain S. Sudjojono, Hendra
Gunawan, Djayengasmoro, Kusnadi, Sindusisworo dan lain-lain.
6. Periode Pendidikan Formal
Pada masa ini ditandai dengan berdirinya pendidikan
pendidikan formal seperti:
ASRI( Akademi Seni Rupa Indonesia ) berdiri tanggal 18 Januari 1948 di Yogyakarta yang diprakarsai oleh R.J. Katamsi.
Pada tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarja dibantu oleh Muhtar Apin, Ahmad Sadali, Sudjoko, Edi Kanta Subraka dan lain-lain.
ASRI( Akademi Seni Rupa Indonesia ) berdiri tanggal 18 Januari 1948 di Yogyakarta yang diprakarsai oleh R.J. Katamsi.
Pada tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarja dibantu oleh Muhtar Apin, Ahmad Sadali, Sudjoko, Edi Kanta Subraka dan lain-lain.
Pada tahun 1959 Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar berubah
menjadi jurusan Seni Rupa pada Institut Teknologi Bandung.Guru gambar pada
tingkat sekolah-sekolah menengah menuntut terbentuknya jurusan seni rupa pada
perguruan tinggi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas
Negeri) yang tersebar di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya pendidikan keseniaa mulai
masuk ke dalam kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Dari Masa
Pendidikan Formal lahir pelukis-pelukis akademis seperti: Widayat, Bagong
Kusudiharjo, Edhi Sunarso, Saptoto, G. Sidharta, Abas Alibasyah, Hardi,
Sunarto, Siti Rulyati, Mulyadi, Irsam, Arief Sudarsono, Agus Dermawan, Aming
Prayitno, dan lainnya (Yogyakarta). Popo Iskandar, Achmad Sadali, But Muchtar,
Srihadi, A.D. Pirous, Hariadi, Kabul Suadi, Sunaryo, Jim Supangat, Pandu
Sadewa, T. Sutanto. (Bandung)
7. Periode Seni Rupa Baru Indonesia
Pada
sekitar tahun 1974, perkembangan seni rupa Indonesia disemarakkan oleh
munculnya seniman-seniman muda yang berlatar belakang berbeda, yaitu seniman
yang mendapatkan pendidikan formal dan otodidak sama-sama mencetuskan aliran
yang tidak dapat dikelompokkan pada aliran/corak yang sudah ada dan merupakan
corak baru dalam kancah seni rupa Indonesia.
Kesenian yang diciptakan berlandaskan pada konsep :
Kesenian yang diciptakan berlandaskan pada konsep :
F Tidak membeda-bedakan disiplin seni
F Mengutamakan ekspresi
F Menghilangkan sikap mengkhususkan
cipta seni tertentu
F Mengedepankan kreatifitas dan serta
ide baru
Besifat eksprimental
Pelopor Masa Indonesia Baru :
Pelopor Masa Indonesia Baru :
·
Jim Supangkat,
·
Nyoman Nuarta,
·
S. Primka,
·
Dede Eri Supria,
·
Redha Sorana dan sebagainya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai estetis adalah nilai yang digunakan untuk menilai tentang keindahan,
bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Dalam hal ini keindahan
"dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu
benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti
umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut
ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu
mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena
manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo
sapiens)pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya
yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk
membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah
dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada
pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya,
dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius.
Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi
kepentingan praktis dan estetis saja.
Perkembangan Seni rupa modern yang berkembang di
Eropa sejak awal abad ke-19 pengaruhnya masuk ke Indonesia pada awal abad
ke-20. Adalah Raden Saleh seorang anak bangsa yang telah belajar seni lukis dan
mengembara di Eropa selama kurang lebih 20 tahun pulang ke Indonesia dengan
membawa gaya dan teknik melukis yang diperoleh di Eropa.
Para ahli menetapkan sejak kepulangan R. Saleh itulah
dimulai perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Dalam perkembangannya seni
rupa modern di Indonesia mengalami periodisasi sebagai berikut.
1. Periode Perintisan (1817-1880)
2. Periode Indonesia Jelita ( Indie Mooi )
3. Periode Cita Nasional
4. Periode Pendudukan Jepang
5. Periode Setelah Kemerdekaan
6. Periode Pendidikan Formal
7. Periode Seni Rupa Baru Indonesia
2. Periode Indonesia Jelita ( Indie Mooi )
3. Periode Cita Nasional
4. Periode Pendudukan Jepang
5. Periode Setelah Kemerdekaan
6. Periode Pendidikan Formal
7. Periode Seni Rupa Baru Indonesia
DAFTAR PUSTAKA