Senin, 28 September 2015

Nilai Estetis dan Dorongan Berkarya Seni & Periode Seni



Makalah
Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan
(Nilai Estetis dan Dorongan Berkarya Seni & Periode Seni)
 






Dosen Pengampu      : M. Reyhan F M.Pd
Kelas/Prodi                 : 3F/PGSD
Anggota Kelompok 2:

1)             Hening Tri K
2)             Arum Dwi Lestari
3)             Yunis Faizatun N
4)             Irma Yulianti
5)             Putri Yuniasari
   



STKIP PGRI TULUNGAGUNG
Jalan Mayor Sujadi No.7 Tulungagung Telp./ Fax 0355-321426 Email:stkippgritulungagung@gmail.com/website: stkippgritulungagung.ac.id/Kode Pos 66221
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya  panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa saya telah menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah seni rupa SD dengan membahas tentang nilai estetis seni dan periode seni.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi – materi yang ada. Materi – materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang nilai estetis seni dan juga periode seni.Sehingga mahasiswa dapat memahami tetang nilai pada seni dan juga mampu memahami perkembangan seni yang terangkum pada materi periode seni.
Seperti kata orang bijak, tidak ada yang sempurna dalam hidup. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca, khususnya dosen pembimbing sangat perlu bagi kami untuk kesempurnaan makalah kami  di kemudian hari.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya kami dan para pembaca pada umumnya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

                                                           


                                                                          Tulungagung, 27 September 2015


                                                                                       Tim Penyusun




BAB 1
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Seni budaya dan keterampilan merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diberikan bagi murid SD guna menumbuhkan kepekaan rasa keinndahan/estetika, keunikan, sehingga bermanfaat bagi peserta didik. Diantaranya membentuk sikap kreatif, apresiatif, dan kritis. Disamping itu juga menumbuh kembangkan sikap hidup yang toleran karena kemajemukan seni yang ada di Nusantara.
Pendidikan Seni Rupa yang berfungsi sebagai dasar keilmuan akan memberikan landasan konseptual bagi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Dalam ilmu pendidikan seni rupa, terdapat kerangka teoretik yang sangat berharga bagi penerapan dan pengayaan materi Kerajinan Tangan dan Kesenian di Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Oleh karena itu, pada buku ini tidak sepenuhnya mengacu pada kurikulum Kertakes SD, tetapi lebih luas dan mendasar. Pada bahasan praktika diberikan beberapa pilihan tugas berkarya bagi Guru (calon guru) yang dapat diterapkan dalam mata pelajaran Kertakes. Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes) diberikan bagi murid SD guna menumbuhkan kepekaan rasa keindahan (estetika) sehingga membentuk sikap kreatif, apresiatif dan kritis. Kertakes memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman berapresiasi dan berkreasi yang dapat menghasilkan suatu benda yang bermanfaat.
Pembelajaran Kertakes memiliki fungsi dan tujuan untuk menumbuhkembangkan berbagai potensi, sikap dan keterampilan (baca Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kertakes, Depdiknas, 2003, halaman 6-8). Fungsi dan tujuan Kertakes adalah:
1.      Mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa melalui penelaahan jenis, bentuk, sifat, fungsi, alat, bahan, proses, dan teknik dalam membuat berbagai produk teknologi dan seni yangberguna bagi kehidupan manusia, termasuk pengetahuan seni dan keterampilan dalam konteks budaya yang multikultural.
2.      Mengembangkan kemampuan intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan rasa, kepekaan kreatif, keterampilan, dan mengapresiasi/menghargai hasil karya seni dan kerajinan dari berbagai wilayah Nusantara dan mancanegara.
3.      Menumbuhkembangkan sikap profesional, kooperatif, toleransi, kepemimpinan (leadership), kekaryaan (employmentship), dan kewirausahaan (enterpreneurship).

B.  RUMUSAN MASALAH
a.       Apakah yang dimaksud dengan nilai estetika seni?
b.      Bagaimanakah Dorongan berkarya seni dan periode seni?

C.  TUJUAN
a.       Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan nilai estetika seni.
b.      Mahasiswa mampu memahami mengenai dorongan berkarya seni dan juga periode seni.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  NILAI ESTETIS
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut berbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880 1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai? Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan  (goodness).             Dalam Dictionary od Sociology and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).
Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebutaxiology atau kini lebih sering disebut theory of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types of value)dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory value,yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.
Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita metafisis.
Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagianyang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat. Dikatakan oleh Hegel, bahwa: "Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan "keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer).
Ada tingkatan basis aktivitas estetik/artistika:
1.      Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara,gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2.      Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi.
3.      Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution(ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni; yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut, apresiasi bukanlah proses pasif, tetapi merupakan proses aktif dan kreatif, yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang dihasilkan dari proses hayatan (Feldman, 1981).
Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan dasar seni rupa, mengenal tentang garis,shape, warna, teksture, volume, ruang dan waktu. Penghayat harus mengetahui secara pasti asas-asas pengorganisasian; harmonis, kontras, gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangan, unity danvariaty. Seperti yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The Liang Gie, bahwa untuk mengatasi kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga aspek konfusi atau kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk menampilkan keanekaan (variaty) dan kesatuan (unity) yang semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan (The Liang Gie, 1976: 54.)

B.  DORONGAN BERKARYA SENI DAN PERIODE SENI
Kapankah seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan seperti itu, maka jawabannya sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada di planet bumi ini. Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan berbagai fakta tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens)pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan di antaranya:
1.      Lukisan gua (cave painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya dan bentuk, dengan latar belakang magis.
2.      Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan praktis.
3.      Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang artistik.
4.      Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.
Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya seni prasejarah yang lain, baik yang dihasilkan pada zaman paleolitikum, messolitikum, megalitikum, neolitikum, maupun zaman logam. Perlu dicatat juga bahwa karya yang memiliki nilai artistik yang tinggi, terutama pada benda- benda yang tiga dimensional, dihasilkan sejak zaman neolitikum dan zaman logam.
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1.      Dorongan magis dan religius (keagamaan).
2.      Dorongan untuk bermain.
3.      Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.
            Perkembangan Seni rupa modern yang berkembang di Eropa sejak awal abad ke-19 pengaruhnya masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20. Adalah Raden Saleh seorang anak bangsa yang telah belajar seni lukis dan mengembara di Eropa selama kurang lebih 20 tahun pulang ke Indonesia dengan membawa gaya dan teknik melukis yang diperoleh di Eropa.
Raden Saleh Syarif Bustaman ( Terbaya, 1814 -1880 ), putra keluarga bangsawan pribumi mampu melukis gaya/cara barat (alat, media dan teknik) yang natural dan romantis. Mendapat bimbingan dari pelukis Belgia Antonio Payen, pelukis Belanda A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag. Berkeliling dan pernah tinggal di Negara-Negara Eropa.
Para ahli menetapkan sejak kepulangan R. Saleh itulah dimulai perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Dalam perkembangannya seni rupa modern di Indonesia mengalami periodisasi sebagai berikut.
1.      Periode Perintisan
Raden Saleh Syarif Bustaman ( Terbaya, 1814 -1880 ), putra keluarga bangsawan pribumi mampu melukis gaya/cara barat(alat, media dan teknik) yang natural dan romantis. Mendapat bimbingan dari pelukis Belgia Antonio Payen, pelukis Belanda A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag. Berkeliling dan pernah tinggal di Negara-Negara Eropa.
Ciri-ciri karya lukisan Raden Saleh :
·         Bergaya natural dan romantisme
·         Kuat dalam melukis potret dan binatang
·         Pengaruh romantisme Eropa terutama dari Delacroix.
Pengamatan yang sangat baik pada alam maupun binatang.

Karya Raden Saleh:
·         Hutan terbkar
·         Perkelahian antara hidup dan mati
·         Pangeran Diponegoro
·         Berburu Banteng di Jawa
·         Potret para Bangsawan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9j8tGY-CEaYAesJP_bG_MIOo7edIgmD7bVCUeW9fq-DPKJLalEDAjvMOvZqxWNGOmJK2-7BspbnCdu5MlW2jU-ImXCgUXBZuJMBHoPdkvAS_k_x8I8vaydgDqXXGG0e3RokHNwVK0Gncx/s400/1.jpg
Karya Raden Saleh Sjarief Bustaman,  berjudul"DIE LOWENJAGD" tahun 1840.
Pada tanggal 18 Nopember 2005 di Cologne (Jerman) lukisan tersebut laku terjual 805.000,- Euro (atau sekitar 11,77 milyar rupiah)
.
2.      Periode Hindia Jelita/Indonesia Molek (Mooi Indie)
Selanjutnya muncul pelukis-pelukis muda yang memiliki konsep berbeda dengan masa perintisan, yaitu melukis keindahan dan keelokan alam Indonesia. Keadaan ini ditandai pula dengan datangnya para pelukis luar/barat dan sebagian ada yang menetap dan melukis keindahan alam Indonesia.

Pelukis Indonesia Molek :
Abdullah Suriosubroto (1878-1941)
·         Mas Pirngadi (1875-1936)
·         Wakidi
·         Basuki Abdullah
·         Henk Ngantung, Lee Man Fong (dll)
·         Rudolf Bonnet (Bld), Walter Spies (Bel), Romuldo Locatelli (Itali), Lee Mayeur (Jerman) dan W.G. Hofker (Bld), Strasser (Swiss) dll.
Ciri-ciri lukisan :
·         Pengambilan obyek alam yang indah
·         Tidak mencerminkan nilai-nilai jiwa merdeka
·         Kemahiran teknik melukis tidak dibarengi dengan penonjolan nilai spiritual
·         Menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZ_30fU47Y5sm1jjHhW37K-PsNVBVelZocqAtlgP8kyHh8d4BIWoJ5cgLc_rJgrejhBla4hRsrxKdselSEN4UKK3QppWcj90LGHiEkcHo_-4Xz8A822OwvAU2jnPyxj23YLVlmXHmMFMfK/s400/2.jpg
3.      Periode Cita Nasional/PERSAGI
Bangkitanya kesadaran nasional yang dipelopori oleh Boedi Oetomo pada Th.1908. Seniman S. Sudjojono, Surono, Abd. Salam, Agus Djajasumita medirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Perkumpulan seniman pertama di Jakarta ini, berupaya mengimbangi lembaga kesenian asing Kunstring yang mampu menghimpun lukisan-lukisan bercorak modern. PERSAGI berupaya mencari dan menggali nilai-nilai yang mencerminkan kepribadian Indonesia yang sebenarnya.
Hasil karya mereka mencerminkan :
·         Mementingkan nilai-nilai psikologis;
·         Tema perjuangan rakyat ;
·         Tidak terikat kepada obyek alam yang nyata;
·         Memiliki kepribadian Indonesia ;
·         Didasari oleh semangat dan keberanian;
Karya-karya seni lukis masa PERSAGI antara lain :
·         Agus Djajasumita : Barata Yudha, Arjuna Wiwaha, Nirwana, Dalam Taman Nirwana
·         S. Sudjojono: Djongkatan, Didepan Kelambu Terbuka, Mainan, Cap Go meh.
·         Otto Djaya: Penggodaan, Wanita Impian
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUXsqc9DOkfprxtOuRj5oO9zlvmsmiD1HxSiHh32fjJ-k-_L2TfZjLh4kjrslr7kEhoohgjG1OUF7wr0v4tkl_4BZPp1XAVwMXDmExmKyl0TYhz8c72kEN3mtXmLd7zarSavPqHI3CIQRn/s400/3.jpg

4.      Periode Pendudukan Jepang
Hal-hal yang mewarnai perkembangan seni rupa di Indonesia pada masa pendudukan Jepang antara lain:
·         Cita PERSAGI masih melekat pada para pelukis, serta menyadari pentingnya seni lukis untuk kepentingan revolusi.
·         Pemerintah Jepang mendirikan KEIMIN BUNKA SHIDOSO,Lembaga Kesenian Indonesia –Jepang ini pada dasarnya lebih mengarah pada kegiatan propaganda Jepang.
·         Tahun 1943 berdiri PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur. Tujuannya memperhatikan dan memperkuat perkembangan seni dan budaya. Khusus dalam seni lukis dikelola oleh S. Sudjojono dan Afandi, selanjutnya bergabung pelukis Hendara, Sudarso, Barli, Wahdi dan sebagainya.

Pada masa pendudukan Jepang ini terkesan ada dua kubu seniman, yakni seniman-seniman yang pro terhadap Jepang mereka bergabung dan berkarya dalam wadah Keimin Bunka Shidhoso. Sedangkan yang kontra Jepang memilih masuk ke dalam kelompok PUTERA.
Hasil karya mereka mencerminkan :
·         Melanjutkan cerminan dari masa cita Nasional.
Tokoh utama pada masa ini antara lain:
·         S. Sudjojono
·         Basuki Abdullah, Emiria Surnasa
·         Agus Djajasumita, Barli
·         Affandi, Hendra dan lain-lain
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjBW1ivcpF75X5yOUadJb0WpePviPmKf-Nr27nxVgF514We6ft867XcvQS4ycPsdMaPqV8YGYjMdkGxfUPu8egnQj_m0k1cO5NQFS7bCjLW9DGw0nGvD2D6jp8eEai6k0QLVhLO5aLoYHJ/s400/4.jpg
5.      Periode Pasca Kemerdekaan
Setelah Jepang keluar dari bumi Indonesia, dunia seni lukis mendapatkan angin segar. Masa kemerdekaan benar-benar mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai kelompok atau perkumpulan seniman,yaitu antara lain :
a.       Pada tahun 1946 berdiri SIM (Seniman Indonesia Muda) yang sebelumnya bernama “Seniman masyarakat”. Dipimpin oleh S. Sudjojono, anggotanya : Affandi, Sudarso, Gunawan, Abdus Salam, Trubus dan sebagainya.
b.      Pada tahun 1947 berdiri perkumpulan pelukis rakyatyang dipimpin oleh Affandi dan Hendra yang keluar dari perkumpulan SIM. Anggota dari pelukis rakyat antara lain : Hendra, Sasongko, Kusnadi dan sebagainya.
c.       Pada tahun 1948 berdiri perkumpulan yang memberikan kursus menggambar, yaitu Prabangkara. Selanjutnya para tokoh SIM, Pelukis rakyat dkk. merumuskan pendirian lembaga pendidikan Akademi Seni Rupa.Tokoh perintisan lembaga tersebut antara lain S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Djayengasmoro, Kusnadi, Sindusisworo dan lain-lain.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRkIcycuHt4WZw2bq3Yjvv9TA2DYubEJRWBe65UicsGOQvQwDGgg4TQqt5c5ojRzxuIERAOvmKPeCbjzOvXolJQnOAp0FnuDKpiRL8pFS4-rZQs4Hv9hYqjPN2XU-gKstI6VZWru_cohNY/s400/5.jpg
6.      Periode Pendidikan Formal
Pada masa ini ditandai dengan berdirinya pendidikan pendidikan formal seperti:
ASRI( Akademi Seni Rupa Indonesia ) berdiri tanggal 18 Januari 1948 di Yogyakarta yang diprakarsai oleh R.J. Katamsi.
            Pada tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarja dibantu oleh Muhtar Apin, Ahmad Sadali, Sudjoko, Edi Kanta Subraka dan lain-lain.
Pada tahun 1959 Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar berubah menjadi jurusan Seni Rupa pada Institut Teknologi Bandung.Guru gambar pada tingkat sekolah-sekolah menengah menuntut terbentuknya jurusan seni rupa pada perguruan tinggi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri) yang tersebar di Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya pendidikan keseniaa mulai masuk ke dalam kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Dari Masa Pendidikan Formal lahir pelukis-pelukis akademis seperti: Widayat, Bagong Kusudiharjo, Edhi Sunarso, Saptoto, G. Sidharta, Abas Alibasyah, Hardi, Sunarto, Siti Rulyati, Mulyadi, Irsam, Arief Sudarsono, Agus Dermawan, Aming Prayitno, dan lainnya (Yogyakarta). Popo Iskandar, Achmad Sadali, But Muchtar, Srihadi, A.D. Pirous, Hariadi, Kabul Suadi, Sunaryo, Jim Supangat, Pandu Sadewa, T. Sutanto. (Bandung)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNF5keJFAc_rxhXyiiBijwjWQEBPwk0K7VZ9F-QVBKF80ClpgMCDkNAzw1nXjuPQmz6vfTDoe-zng5CMtcFpPIU7lknEYcSniYpQJpEPau5A20yMtpqXIpef16kddJXWXbNFErJiWzwVLP/s400/6.jpg
7.      Periode Seni Rupa Baru Indonesia
Pada sekitar tahun 1974, perkembangan seni rupa Indonesia disemarakkan oleh munculnya seniman-seniman muda yang berlatar belakang berbeda, yaitu seniman yang mendapatkan pendidikan formal dan otodidak sama-sama mencetuskan aliran yang tidak dapat dikelompokkan pada aliran/corak yang sudah ada dan merupakan corak baru dalam kancah seni rupa Indonesia.
Kesenian yang diciptakan berlandaskan pada konsep :
F Tidak membeda-bedakan disiplin seni
F Mengutamakan ekspresi
F Menghilangkan sikap mengkhususkan cipta seni tertentu
F Mengedepankan kreatifitas dan serta ide baru
Besifat eksprimental
Pelopor Masa Indonesia Baru :
·         Jim Supangkat,
·         Nyoman Nuarta,
·         S. Primka,
·         Dede Eri Supria,
·         Redha Sorana dan sebagainya




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nilai estetis adalah nilai yang digunakan untuk menilai tentang keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens)pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.
Perkembangan Seni rupa modern yang berkembang di Eropa sejak awal abad ke-19 pengaruhnya masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20. Adalah Raden Saleh seorang anak bangsa yang telah belajar seni lukis dan mengembara di Eropa selama kurang lebih 20 tahun pulang ke Indonesia dengan membawa gaya dan teknik melukis yang diperoleh di Eropa.
Para ahli menetapkan sejak kepulangan R. Saleh itulah dimulai perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Dalam perkembangannya seni rupa modern di Indonesia mengalami periodisasi sebagai berikut.
1. Periode Perintisan (1817-1880)
2. Periode Indonesia Jelita ( Indie Mooi )
3. Periode Cita Nasional
4. Periode Pendudukan Jepang
5. Periode Setelah Kemerdekaan
6. Periode Pendidikan Formal
7. Periode Seni Rupa Baru Indonesia





DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar